Tentang Perjalanan Pendeta Refail Redhi: Menjaga Iman Dalam Keberanian Dan Ketekunan

Artikel ini mengangkat kisah Refail Redhi, seorang pendeta dari desa Libofsha di Albania yang mempertahankan keyakinannya dalam menghadapi situasi yang sulit di masa lalu. Pada tahun 1967, pemimpin komunis Albania, Enver Hoxha, mengeluarkan perintah yang melarang semua bentuk agama di negara tersebut. Sebanyak 2172 objek keagamaan hancur oleh bahan peledak dan tank militer sebagai tindakan untuk menghapuskan kepercayaan agama dari masyarakat. Generasi orang tua Refail Redhi dipaksa untuk menyangkal keyakinan mereka, namun dia sendiri masih mampu mempertahankan keimanan dalam hatinya.
Refail Redhi mengatakan bahwa komunis berusaha keras untuk membuat kepercayaan agama lenyap dengan melakukan propaganda, memengaruhi media, teater, dan film, namun mereka tidak benar-benar berhasil. Ia menyebut bahwa meski ukuran iman orang-orang mungkin menjadi lebih kecil, namun ia tetap besar di hati mereka. Tidak ada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh rezim tersebut yang mampu benar-benar menekan kepercayaan agama dari hati rakyat Albania. Meskipun masyarakat diawasi ketat oleh rezim totaliter, mereka tetap berdoa dan menyalakan lilin secara diam-diam di biara-biara. Topik agama dibahas secara rahasia, dan ritual dilakukan di balik pintu tertutup.
Refail Redhi masih mengingat waktu ketika ia melihat sekelompok orang yang terdeteksi oleh mata-mata komunis sedang berdoa di sebuah gereja di kota Durres, Albania, dan kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman. Hal ini mendorongnya untuk memutuskan untuk mendedikasikan dirinya kepada keyakinan Kristen. Ia pernah berkata bahwa jika gereja dibuka, ia akan menjadi seorang pendeta, dan meyakinkan semua orang bahwa ia memiliki “tanda dari Tuhan”. Namun, ia dihujani oleh komunis yang menuduhnya melakukan “propaganda” dan mengancam akan memenjarakannya.
Pada akhir tahun 1991, saat rezim komunis hampir berakhir, pendeta Refail Redhi memulai proses untuk membuka gereja lokalnya kembali. Ia berhasil mengumpulkan tanda tangan dari 100 keluarga yang siap membuka gereja, dan pada tahun 1991, orang-orang berkumpul di gereja Santo Kozma untuk merayakan Paskah, merayakan perayaan pertama di gereja setelah puluhan tahun larangan agama.
Dari cerita Refail Redhi, kita dapat belajar bahwa keberagaman agama dapat menciptakan rasa persatuan dan kekuatan. Meskipun Albania mayoritas Muslim, Refail yang seorang Muslim menemukan kedamaian dan makna hidupnya melalui iman Kristennya. Ini menunjukkan bahwa tidak perlu terkungkung pada satu agama saja untuk mencari pelajaran kehidupan atau bergabung dengan komunitas tertentu.
Kisah Refail Redhi juga mengajarkan kita pentingnya kebebasan beragama dan hak untuk beribadah. Bahkan ketika pemerintah Albania pada masa komunis melarang agama, iman orang-orang masih tetap teguh di dalam hati mereka dan mereka melakukan kegiatan keagamaan secara rahasia. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan seseorang tidak bisa dipaksa atau dibungkam oleh kekuasaan apapun.
Dalam konteks zaman sekarang, pesan moral dari cerita ini sangat penting terutama bagi anak muda. Kita harus belajar untuk menghargai dan menghormati perbedaan agama, serta memastikan bahwa hak kebebasan beragama dan beribadah dijaga dan dilindungi. Semua agama memiliki ajaran yang sama-sama mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Oleh karena itu, sebagai generasi muda, kita harus membuka diri dan menerima perbedaan sebagai bagian dari kekayaan kehidupan.
Penulis : : Abdul Mutalib Pakaya, B.A. Ketua UMUM PPI Albania 2023-2024