Menjadikan Politik Lebih Intelektual: Urgensi Revisi UU Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik

Oleh: IWAJRI
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) merupakan momentum yang tidak boleh disia-siakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Transformasi sistem politik melalui revisi Undang-Undang Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik bukan sekadar kebutuhan, tetapi sebuah keharusan untuk memperkuat fondasi demokrasi Indonesia. Alih-alih terjebak dalam perdebatan teknis mengenai mekanisme pembahasan, apakah melalui Panitia Khusus (Pansus), Komisi II, atau Badan Legislasi (Baleg), fokus utama haruslah pada substansi pembaruan yang benar-benar membawa perubahan sistemik bagi tata kelola politik nasional.
Transformasi Politik sebagai Pilar Demokrasi yang Berkualitas
Demokrasi yang sehat tidak hanya ditentukan oleh prosedur elektoral, tetapi juga oleh kualitas institusi politik yang menjalankannya. Partai politik, sebagai pilar utama demokrasi, harus diperkuat agar tidak terjebak dalam pragmatisme jangka pendek yang hanya berorientasi pada kepentingan elitis. Oleh karena itu, revisi regulasi harus mencakup aspek fundamental seperti transparansi pendanaan partai, sistem kaderisasi yang berbasis meritokrasi, serta mekanisme seleksi kepemimpinan yang terbuka dan kompetitif.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tanjung, menekankan bahwa gagasan Omnibus Law Politik dapat menjadi langkah strategis dalam menyempurnakan sistem pemilu dan memperkuat institusi politik. Hal ini sejalan dengan visi Presiden RI, Prabowo Subianto, yang menegaskan bahwa penataan ulang sistem politik merupakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia.
Menurut Doli Kurnia, perubahan sistem politik ini tidak boleh bersifat administratif semata, tetapi harus menyentuh aspek fundamental yang mampu meningkatkan kualitas demokrasi. Ia menekankan bahwa partai politik harus menjadi institusi yang lebih modern, profesional, dan memiliki sistem kaderisasi yang kuat. Selain itu, ia juga mendorong agar mekanisme pencalonan dalam pemilu lebih terbuka dan kompetitif, sehingga rakyat dapat memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas.
“Jika kita ingin membangun demokrasi yang lebih sehat, kita harus memastikan bahwa sistem politik yang kita bangun mampu menjawab tantangan zaman. Pembaruan ini harus dilakukan dengan niat baik dan semangat perubahan yang sesungguhnya”, tegasnya.
Omnibus Law atau Kodifikasi: Format Regulasi yang Efektif
Dalam merancang regulasi, metode yang digunakan harus sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan Omnibus Law memang menarik karena dapat menyederhanakan dan mengharmonisasikan berbagai regulasi yang saling berkaitan. Namun, metode kodifikasi yang menyusun berbagai aturan dalam satu sistem hukum yang lebih sistematis juga patut dipertimbangkan.
Pendekatan apa pun yang digunakan harus tetap berorientasi pada kepentingan nasional, bukan sekadar kepentingan kelompok atau individu tertentu. Regulasi yang dihasilkan harus mampu menciptakan sistem politik yang lebih stabil, efisien, dan responsif terhadap dinamika politik yang berkembang.
Lebih dari sekadar pilihan metode, yang utama adalah memastikan bahwa revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik dilakukan secara terintegrasi. Ketiga regulasi ini saling berkaitan dalam membentuk sistem demokrasi yang lebih stabil dan berorientasi pada kepentingan nasional.
Mendesak: Kapan Transformasi Ini Dimulai?
DPR dan pemerintah tidak boleh berlama-lama dalam ketidakpastian. Urgensi pembaruan politik mengharuskan adanya kesepakatan segera mengenai waktu dan mekanisme pembahasannya. Para pimpinan partai politik harus menunjukkan komitmen nyata dengan mendorong fraksi-fraksinya untuk segera memulai diskusi serius mengenai agenda ini. Tanpa keseriusan politik, revisi undang-undang ini hanya akan menjadi wacana kosong yang tidak pernah terealisasi.
Keberanian politik menjadi kunci utama dalam merealisasikan transformasi ini. “Kita tidak bisa terus-menerus menunda pembaruan politik. Jika ingin membangun sistem yang lebih baik, kita harus segera bertindak”.
Perubahan ini bukan sekadar penyempurnaan administratif, tetapi merupakan langkah fundamental dalam membangun demokrasi yang lebih cerdas, berintegritas, dan inklusif. Oleh karena itu, proses pembahasannya harus dilakukan secara transparan, melibatkan partisipasi publik, dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang bangsa.
Hanya dengan keberanian untuk melakukan pembaruan mendalam, kita dapat membangun sistem politik yang lebih intelektual, demokratis, dan mampu menjawab tantangan zaman.